Jumat, 22 Mei 2015

praanggapan, implikatur, dieksis dan inferensi dalam wacana bahasa indonesia



A.      Praanggapan
1.      Pengertian Praanggapan
Praanggapan adalah sesuatu yang dimaksudkan oleh seorang penutur dalam suatu penryataan yang kemudian dari pernyataan tersebut akan ada keterkaitan yang memiliki makna yang didalam sebuah tuturan terdapat suatu asumsi penutur. Menurut Yule (2006:43) menyatakan bahwa praanggapan atau presupposisi adalah sesuatu yang diasumsikan oleh penutur sebagai kejadian sebelum menghasilkan suatu tuturan. Yang memiliki presuposisi adalah penutur bukan kalimat. Louise Cummings (1999: 42) menyatakan bahwa praanggapan adalah asumsi-asumsi atau inferensi-inferensi yang tersirat dalam ungkapan-ungkapan linguistik tertentu.
Dari beberapa definisi praanggapan di atas dapat disimpulkan bahwa praanggapan adalah kesimpulan atau asumsi awal penutur sebelum melakukan tuturan bahwa apa yang akan disampaikan juga dipahami oleh lawan tutur.

2.      Jenis-jenis Praanggapan
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, Menurut Yule (2006:43) klasifikasi praanggapan dibagi menjadi 6 jenis, sebagai berikut.
a.      Existential presupposition (praanggapan eksistensial)
Yaitu praanggapan yamg berasumsi pada kalimat-kalimat yang menunujukkan kepemilikan, akan tetapi keberadaan atau eksistensinya lebih luas dari pernyataan dalam tuturan teresebut. Praanggapan ini menunjukkan bagaimana keberadaan dari suatu hal. Contoh: Ada yang mencuri motor Andi
Praanggapan dalam tuturan tersebut menyatakan keberadaan, yaitu:
(a)  Ada motor
(b)  Ada pencuri
(c)   Ada orang yang bernama Andi
Ada banyak praanggapan yang mungkin muncul dalam tuturan ada yang mencuri motor Andi, tetapi tiga praanggapan di atas dapat mewakili tuturan tersebut.


b.      Factive presupposition (praanggapan faktual)
Yaitu praanggapan yang menunjukkan suatu fakta atau berita yang diyakini kebenarannya. Praanggapan ini disampaikan dengan kata-kata yang menyatakan fakta. Fakta dalam tuturan adalah kata kerja. Contoh:
Andi  sepertinya demam dan tidak menyadari bahwa di luar sedang hujan deras
Dalam kalimat di atas praanggapannya adalah
(a)  Andi demam
(b)  Di luar sedang hujan deras
Pernyataan itu menjadi faktual krena telah disebutkan dalam tuturan. Penggunaan kata ‘menyadari” adalah kata-kata yang menyatakan sesuatu yang diisyaratkan sebagai sebuah fakta dari sebuah tuturan.

c.       Lexical presupposition (praanggapan leksikal)
Praanggapan leksikal merupakan praanggapan yang diperoleht melalui tuturan yang diinterpretasikan melalui penegasan dalam tuturan. Contoh:
Andi berhenti merokok
Praanggapan dari tuturan di atas adalah
(a)  Dulu Andi merokok
(b)  Dulu Andi bisa nerokok
Praanggapan yang muncul pada contoh di atas terdapat pada kata ‘berhenti’ yang menyatakan Andi pernah merokok dan andi bisa merokok sebelumnya, namun sekarang sudah tidak lagi.

d.      Structural presupposition (praanggapan struktural)
Praanggapan ini adalah praanggapan yang dinyatakan melalui tuturan yang strukturnya jelas dan langsung dipahami tanpa melihat kata-kata yang digunakan. Contoh:
Ada apa dalam lemari itu?
Tuturan di atas menunjukkan praanggapan yaitu:
(a)  Ada sesuatu yang tersimpan dalam lemari 
(b)  Lemari tersebut kosong
Praanggapan yang menyatakan ‘sesuatu’ sebagai obyek yang dibicarakan dan dipahami oleh penutur melalui struktur kalimat tanya yang menanyakan ‘apa’.

e.       Non-factive presupposition (praanggapan nonfaktual)
Praanggapan yang memungkinkan adanya pemahaman yang salah karena penggunaan kata-kata yang tidak pasti dan masih ambigu atau bias. Contoh:
-          Seandainya saya memiliki sebuah mobil
Dari tuturan di atas praanggapan yang muncul adalah
(a)  Saya tidak memiliki sebuah mobil
Penggunaan kata ‘seandainya’ sebagai pengandaian bisa memunculkan praanggapan non faktual.

f.       Counter factual presupposition (praanggapan dengan fakta yang berlawanan atau konter-faktual)
Praanggapan ini menghasilkan pemahaman yang berkebalikan dari pernyataannya atau kontradiktif. Kondisi yang menghasilkan praanggapan seperti ini biasanya dalam tuturannya mengandung ‘if-clause’ atau pengandaian. Hasil yang didapat menjadi kontradiktif dari pernyataan sebeblumnya. Contoh:
-          Kalau hari ini Sinta datang, dia akan bertemu dengan Andi.
Dari contoh tuturan di atas, kita dapat melihat praanggapan yang muncul adalah:
(a)  Sinta tidak datang
(b)  Sinta tidak bertemu Andi
Praanggapan tersebut muncul dari kontradiksi kalimat dengan adanya penggunaan kata ‘kalau’. Penggunaan kalau membuat praanggapan yang kontradiktif dari tuturan yang disampaikan.

B.       Implikatur
1.      Pengertian Implikatur
Implikatur adalah makna atau pesan yang tersirat dalam ungkapan lisan dan atau wacana tulis. Kata lain implikatur adalah ungkapan secara tidak langsung yakni makna ungkapan tidak tercermin dalam kosa kata secara literal. Contoh.
-          Ruangan ini nyaman karena memiliki dua AC.
Berdasarkan contoh di atas, kalimat (a) Si penutur tidak secara langsung menyatakan bahwa memiliki AC adalah ciri ruangan yang nyaman , bentuk ungkapan yang dipakai secara konvensional berimplikasi bahwa hubungan yang menyatakan keadaan seperti itu ada. Jika ruangan nyaman adalah bukan yang ber-AC, maka implikaturnya yang keliru, tetapi ujarannya tidak salah.
C.      Dieksis
1.      Pengertian Dieksis
Deiksis adalah kata, frasa, atau ungkapan yang rujukannya berpindah-pindah tergantung siapa yang menjadi pembicara dan waktu, dan tempat dituturkannya satuan bahasa tersebut.

2.      Jenis-jenis Dieksis
Dalam kajian pragmatik, deiksis dapat dibagi menjadi jenis-jenis seperti diuraikan berikut.
-          Deiksis Orang
Dieksis adalah pemberian rujukan kepada orang yang menjadi pemeran dalam suatu peristiwa atau dalam lingkup berbahasa. Dieksis orang merujuk pada kata ganti orang atau persona, dalam Bahasa Indonesia pembagian kata ganti orang menjadi tiga yaitu, kata ganti orang pertama, orang kedua, dan orang ketiga.
Sistem dieksis ini, orang pertama ialah kategori rujukan pembicara kepada dirinya sendiri, seperti saya, aku, kami, dan kita. Orang kedua adalah kategori rujukan kepada seseorang (atau lebih) pendengar atau siapa yang dituju dalam pembicaraan, seperti kamu, engkau, anda, dan kalian. Orang ketiga adalah kategori rujukan kepada orang yang bukan pembicara dan bukan pula pendengar, seperti dia, ia, beliau, -nya, dan mereka. Contoh pemakaian deiksis orang dapat dilihat dalam kalimat-kalimat berikut.
1.      Mengapa hanya saya yang diberi tugas berat seperti ini?
2.      Saya melihat mereka di pasar kemarin.
Kata-kata yang dicetak miring merupakan kata-kata yang menunjukkan dieksis orang.

-          Dieksis Tempat
Dieksis tempat adalah pemberian bentuk kepada lokasi ruang atau tempat yang dipandang dari lokasi pemeran serta dalam peristiwa berbahasa. Contoh penggunaan dieksis tempat dapat dilihat pada kalimat-kalimat berikut.
1.      Tempat itu terlalu jauh baginya, meskipun bagimu tidak.
2.      Duduklah bersamaku di sini.
Kata-kata yang dicetak miring seperti contoh-contoh tersebut di atas adalah contoh dari kata-kata yang digunakan sebagai penunjuk dalam deiksis tempat.
-          Deiksis Waktu
Deiksis waktu adalah pengungkapan atau pemberian bentuk kepada titik atau jarak waktu yang dipandang dari waktu sesuatu ungkapan dibuat. Contoh deiksis waktu adalah kemarin, lusa, besok, bulan ini, minggu ini, atau pada suatu hari.
1.      Gaji bulan ini tidak seberapa yang diterimanya.
2.      Saya tidak dapat menolong Anda sekarang ini.

-          Deiksis Wacana
Deiksis wacana adalah rujukan kepada bagian-bagian tertentu dalam wacana yang telah diberikan atau yang sedang dikembangkan. Contoh kalimat yang bersifat anafora dapat dilihat dalam kalimat berikut.
-          Wati belum mendapatkan pekerjaan, padahal dia sudah diwisuda dua tahun yang lalu.
Sebuah rujukan atau referen dikatakan bersifat katafora jika rujukannya menunjuk kepada hal yang akan disebutkan (Agustina, 1995:42). Contoh kalimat yang bersifat katafora dapat dilihat dalam kalimat berikut.
-          Di sini, digubuk tua ini mayat itu ditemukan.

-          Deiksis Sosial
Deiksis sosial adalah mengungkapkan atau menunjukkan perbedaan ciri sosial antara pembicara dan lawan bicara atau penulis dan pembaca dengan topik atau rujukan yang dimaksud dalam pembicaraan itu. Contoh pemakaian deiksis sosial adalah pada kalimat berikut.
- Apakah saya bisa menemui Bapak hari ini?

-          Deiksis Sejati dan Deiksis Tak Sejati
Deiksis sejati adalah arti dari kata atau frasa penunjuk yang seluruhnya dapat diterangkan dengan konsep deiksis. Dengan kata lain kata-kata yang dipakai sebagai penunjuk deiksis tidak mengandung makna lain selain dari makna deiksis itu sendiri. Kata-kata yang sering dijadikan sebagai deiksis sejati adalah kata-kata yang dipakai untuk perujuk atau penunjuk, misalnya ini, itu, di sini, di situ, saya, kita, kamu, dan engkau.


D.      Inferensi
1.      Pengertian Inferens
Inferensi atau penarikan kesimpulan dikatakan oleh Gumperz (1982) sebagai proses interpretasi yang ditentukan oleh situasi dan konteks percakapan. dengan demikian pendengar menduga kemauan penutur, dan dengan itu pula pendengar meresponsnya. Dengan begitu inferensi percakapan tidak hanya ditentukan oleh kata-kata pendukung ujaran itu saja, melainkan juga didukung oleh konteks dan situasi. Sebuah gagasan yang terdapat dalam otak penutur direlisasikan dalam bentuk kalimat-kalimat. Jika penutur tidak pandai dalam menyusun kalimat maka akan terjadi kesalahpahaman. Contoh:
A   : Saya baru bertemu Toni.
B   : Oh, si Toni kawan kita di SMA itu?
A   : Bukan, tapi Toni kawan di SMP dulu.
B   : Toni yang gemuk itu?
A   : Bukan, bukan Toni yang gemuk, tetapi Toni yang kurus.
B   : Oh, ya, saya tahu.
Pengetahuan gramatikal dan leksikal saja tidak cukup mengartikan sebuah ujaran dengan benar. Latar belakang, sosiokultural si penutur dan pendengar serta status mereka turut berperan dalam proses inferensi ujaran. Jika terdapat pperbedaan antara si penutur dan pendengar baik dalam sikap, latar belkaang serta status mereka kemungkinan penarikan kesimpulan yang salah bisa terjadi. Contoh:
a)      John berangkat ke sekolah hari jum’at lalu
b)      Dia benar-benar cemas dengan pelajaran matematika.
Kebanyakan orang membaca dua kalimat di atas John adalah seorang murid. Akan tetapi jika ujaran di lanjutkan dengab kalimat di bawah ini orang akan memutuskan bahwa John adalah seorang guru.
c)      Minggu yang lalu dia tidak dapat mengendalikan kelasnya.


WACANA KOHESI DAN KOHERENSI




A.      Hakikat Wacana
Wacana menurut Henry Guntur Tgarigan diartikan sebagai satuan bahasa yang paling lengkap, yang lebih tinggi dari klausa dan kalimat, memiliki kohesi dan koherensi yang baik, mempunyai awal dan akhir yang jelas berkesinambungan dan dapat disampaikan secara tertulis maupun secara lisan. Sedangkan menurut Van Djik, menyatakan bahwa wacana merupakan suatu bangun struktur yang sifatnya abstrak yang didalamnya mengandung sebuah topik dan tersusun secara kohesi dan koherensi.
Berdasarkan dua pengertian di atas, wacana merupakan satuan bahasa yang paling lengkap, dimana di dalamnya terdapat sebuah topik serta tersusun secara kohesi dan koherensi. Wacana yang memiliki kesinambungan dalam segi arti (makna) ataupun dalam segi bentuk, merupakan wacana yang  tersusun secara kohesi dan koherensi. pembahasan yang lebih jelas mengenai kohesi dan keherensi adalah sebagai berikut.

1.      Kohesi
Kohesi dalam wacana diartikan sebagai kepaduan bentuk secara struktural membentuk ikatan sintaktikal. Konsep kohesif sebenarnya mengacu kepada hubungan bentuk, yakni adanya keterkaitan yang padu dan utuh antara unsur-unsur wacana (kata dan kalimat). Hubungan kohesif demikianlah sehingga unsur-unsur dalam wacana dapat bertautan  antara unsur yang satu dengan nnsur lainnya. Kohesi terbagi dalam dua aspek yaitu kohesi gramatikal dan kohesi leksikal.
a.       Kohesi Gramatikal
Kohesi gramatikal adalah kepaduan bentuk yang menekankan pada kesesuaian dengan tata bahasa. kohesi gramatikal dibedakan mnjadi 4 jenis sebagai berikut.
1)      Referensi (pengacuan)
Referensi merupakan pengacuan satuan lingual tertentu terhadap satuan lainnya. Di lihat dari acuannya, referensi terbagi atas:
1.       Referensi eksofora yaitu pengacuan satuan lingual yang berada di luar teks wacana. Contoh: Itu matahari, kata itu pada tuturan tersebut mengacu pada sesuatu di luar teks, yaitu “benda berpijar yang menerangi alam ini”.
2.       Referensi endofora yaitu pengacuan satuan lingual yang berada di dalam teks wacana.

2)      Substitusi ( penggantian)
Substitusi dalam wacana dapat diartikan sebagai penggantian satuan lingual dengan satuan lingual lain untuk memperoleh unsur pembeda. Substitusi dilihat dari satuan lingualnya dapat dibedakan atas:
1.      Substitusi nominal yaitu penggantian satuan lingual dengan satuan lingual lain yang berupa kata benda.
2.      Substitusi verbal yaitu penggantian satuan lingual dengan satuan lingual lain yang berupa kata kerja.
3.      Substitusi frasa yaitu penggantisn satuan lingual tertentu dengan satuan lingual lain yang berupa frasa.
4.      Substitusi klausal yaitu penggantian satuan lingual tertentu dengan satuan lingual lain yang berupa klausa.

3)      Elipsis atau pelesapan
Elipsis adalah pelesapan satuan lingual tertentu yang sudah disebutkan sebelumnya.
4)      Konjungsi (perangkaian)
Konjungsi adalah kohesi gramatikal yang dilakukan dengan menghubungkan unsure yang satu dengan unsure yang lain. Unsur yang dirangkai berupa kata, frasa, klausa, dan paragraf.

b.      Kohesi Leksikal
Kohesi leksikaartinya kepaduan bentuk sesuai dengan struktur kata. Kohesi leksikal meliputi:
1)      Pengulangan atau repetisi
Repetisi merupakan  cara untuk mempertahankan hubungan konsesif antar kalimat. Hubungan ini dibentuk dengan mengulang satuan lingual.

2)      Sinonimi
Sinonimi merupakan persamaan makna kata. Kohesi berdasarkan unsur sinonimi dapat diartikan sebagai kepaduan suatu wacana yang dipengaruhi adanya kesesuaian persamaan makna kata, semisal pahlawan dan pejuang, buta dan tuna netra dan sebagainya.

Contoh:
Hari pahlawan diperingati tiap 10 November. Mereka adalah pejuang bangsa yang rela mengorbankan jiwa dan raga demi terciptanya bangsa yang merdeka.

3)      Antonim
Antonim merupakan perlawanan kata, yakni suatu kesesuaian dalam wacana dibentuk berdasarkan adanya makna kata yang berbeda. Semisal ayah X ibu, putra X putri, pria X wanita, kakek X nenek dan sebagainya.
Contoh:
Dalam rangka menyambut peringatan kemerdekaan Republic Indonesia, warga setempat mengadakan kerja bakti. Bagi yang putri sebagian besar membawa sapu, sedangkan yang putra membawa sabit. Tak ketinggalan pula nenek maupun kakek ikut serta meramaikan peringatan tersebut.

4)      Hiponim
Hiponim merupakan sebuah pernyataan yang berpola umum-khusus
Contoh:
Setiap seminggu sekali ayah selalu membelikan adek buku baru. Bermacam-macam buku ayah beli agar adek rajin belajar, diantaranya buku mewarnai, buku pintar berhitung, dan buku cerita anak.

5)      Kolokasi
Kolokasi merupakan kebalikan dari unsur hiponim, jika unsur hiponim berpola umum-khusus maka unsur kolokasi berpola khusus-umum.
Contoh:
Bermacam-macam buku seperti buku mewarnai, buku pintar berhitung dan buku cerita ayah beli agar adek giat belajar. Hampir setiap satu minggu sekali ayah mebelikan adek buku baru.

6)      Ekuivalensi
Ekuivalensi merupakan kesejajaran dalam sebuah kalimat. Semisal belajar, mengajar dan pelajaran.
Contoh:
Setiap hari minggu adek selalu kursus belajar bahasa inggris. Bu Reni selalu mengajarkan kosa kata yang berbeda setiap selesai membahas mata pelajaran.

2.      Koherensi
Koherensi merupakan keterkaitan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya sehingga kalimat tersebut mempunyai kesatuan makna yang utuh. Yang termasuk unsur-unsur koherensi meliputi:
a)        Penambahan
            Penembahan kata penghubung yang berupa dan, juga, lahi pula, selanjutmya.

b)        Repetisi
Penggunaan repetisi atau pengulangan kata sebagai sarana koherensi wacana,

c)         Pronomina
Sarana penghubung yang berupa kata ganti orang, terlihat pada contoh berikut ini:
                        Rumah Lani dan rumah Mina di seberang sana. Mereka bertetangga. Lani membeli rumah itu dengan harga lima juta rupiah. Harganya agak murah. Dia memang bernasib baik.

d)        Sinonimi
Penggunaan padanan kata (pengulangan makna) sebagai sarana mewujudkan wacana yang koheren.
            Contoh:
                        Memang dia mencintai gadis itu. Wanita itu berasal dari Solo. Pacarnya itu memang cantik, halus budi bahasa, dan bersifat keibuan sejati. Tak salah dia memilih kekasih, buah hati yang pantas kelak dijadikan istri, teman hidup selama hayat dikandung badan.

e)         Totalitas Bagian
Totalitas bagian merupakan pernyataan yang berpola umum-kushus.



f)         Komparasi
                        Komparasi atau perbandingan pun dapat menambah serta meningkatkan kekoherensifan wacana. Komparasi digunakan untuk membandingkan dua hal yang berbeda, seperti dalam contoh berikut ini.
                        Sama halnya dengan Paman Lukas, kita pun harus segera mendirikan rumah di atas tanah yang baru kita beli itu. Sekarang rumah Paman Lukas itu hampir selesai. Mengapa kita tidak membuat hal yang serupa selekas mungkin? Kita juga sanggup berbuat hal yang sama, takkan lebih dari itu. Tetapi, tidak seperti rumah Paman Lukas yang bertingkat, kita akan membangun rumah yang besar dan luas. Kita tidak perlu mendirikan rumah bertingkat karena tanah kita cukup luas.

g)        Penekanan
            Penekanan-penekanan merupakan unsur pembentuk kekoherensian suatu wacana, karena dengan menejanjan sesutu yang dianggap penting, berikut contoh penekanan dalam kaitannya dengan koherensi suatu wacana.
Contoh:
                        Bekerja bergotong-royong itu bukan pekerjaan sia-sia. Nyatalah kini hasilnya. Jembatan sepanjang tujuh kilometer yang menghubungkan kampung kita ini dengan kampung di seberang ini telah selesai kita kerjakan. Jelaslah hubungan antara kedua kampung, berjalan lebih lancar. Sudah tentu hal ini memberi dampak positif bagi masyarakat kedua kampung. 

h)        Kontras
Kontras atau pertentangan para penulis dapat menambah kekoherensifan karyanya. Contoh penggunaan sarana seperti ini terlihat pada berikut ini.
                         tapi nyata. Ada teman saya seangkatan, namanya Joni. Dia rajin sekali belajar, tetapi setiap ujian selalu tidak lulus. Namun demikian, dia tidak pernah putus asa. Dia tenang saja. Tidak pernah mengeluh. Bahkan sebaliknya, dia semakin rajin belajar. 

i)     Simpulan
Kata-kata yang mengacu kepada hasil atau simpulan permasalakan atau topik yang dibahas.

j)     Contoh
Pemberian contoh yang tepat dapat menciptakan kekoherensifan wacana.

k)   Paralelisme
Penggunaan kesejajaran atau paralelisme klausa sebagai sarana kekoherensifan wacana. Kesejajaran tersebut dinyatakan dalam satu kalimat. Kesejajaran tersebut bisa berupa subjek predikat, subjek predikat objek, atau yang lain.
Waktu dia datang, memang saya sedang asik membaca, saya sedang tekun mempelajari buku baru mengenai wacana. Karena asiknya, saya tidak mengetahui, saya tidak mendengar bahwa dia telah duduk di kursi mengamati saya.

l)          Waktu
Kekoherensifan wacana terjadi karena adanya unsur tempat dan waktu. Unsur ini dpat juga meningkatkan kekoherensifan suatu wacana.
Contoh:
                        Sementara itu tamu-tamu sudah mulai berdatangan. Ruangan terasa kian sempit. Tidak lama kemudian, anak saya mengangkat barang itu dan menaruhnya di atas lemari.